(Mumpung momen Maulid, saya buat simulasi dialog. Semoga
bermanfaat bagi siapapun yang berminat dengan topik seperti ini, baik
yang setuju maupun tidak)
- Kenapa anda merayakan maulid, padahal Nabi dan para sahabat tidak melakukannya?
# Pertanyaannya harusnya kenapa anda mempermasalahkan perayaan maulid, padahal esensi maulid itu memuliakan Nabi?
- Karena itu merupakan bid’ah dalam agama dan setiap bid’ah dalam agama adalah sesat.
#
Sebelum dialog dilanjutkan, kita harus meluruskan satu hal dulu. Apakah
anda mengakui kebolehan ikhtilaf dalam masalah furu’iyah? Kalau anda
mengakuinya, diskusi bisa berlanjut. Kalau anda tidak mengakuinya dan
merasa bahwa satu-satunya yang benar adalah pemahaman anda terhadap
hadis sedangkan semua ulama yang berbeda dengan pemahaman anda adalah
pasti salah, maka percuma ada diskusi.
- Ya, saya mengakui kebolehan ikhtilaf dalam masalah furu’iyah.
#
kalau demikian anda pasti tahu kalau dalam masalah ini ada ikhtilaf
antara ulama. Sebagaimana para sahabat berbeda pendapat dalam banyak hal
sampai-sampai Imam Syafi’i tidak menjadikan qaul sahabat sebagai hujjah
mandiri dan begitu pula tabi’in berbeda pendapat hingga Imam Abu
Hanifah menolak menjadikan qaul mereka sebagai hujjah mandiri dengan
berkomentar “mereka adalah lelaki, kita juga lelaki”. Soal maulid juga
demikian, para ulama berbeda pendapat.
- Tapi bukankah kita bisa tarjih dan memilih?
#
Benar, tapi sampai di sini masalahnya terulang lagi. Kalau anda merasa
bahwa hasil tarjih anda pasti benar dan hasil tarjih orang lain pasti
salah, maka diskusi tidak mungkin dilakukan karena sebanyak apapun
argumen yang dikeluarkan lawan pasti anda tolak. Kalaupun anda tidak
mampu menolak argumen lawan, anda tidak mungkin mengaku salah, tapi
pulang dan mencari jawaban baru yang menurut anda lebih kuat lalu
mengajak diskusi lagi dan hasilnya bisa berulang lagi. Kalau demikian,
berdiskusi dengan anda adalah percuma. Lain halnya kalau anda mengakui
bahwa orang lain berhak menghasilkan tarjih yang berbeda, maka diskusi
bisa dilanjutkan.
- Baik, saya mengakui bahwa orang lain berhak menghasilkan tarjih yang berbeda.
#
Kalau begitu, anda tidak boleh mencela orang yang mengikuti pendapat
al-Hafidz Abu Syamah al-Maqdisi, Ibnu al-Jauzi, Ibnu al-Jazari, Ibnu
Hajar al-‘Asqalani, al-Suyuthi, al-Sakhawi, al-Zarqani dan begitu
banyak ulama besar lainnya yang mengakui kebolehan merayakan maulid Nabi
meskipun sebelumnya tidak ada karena menurut mereka itu adalah
kebaikan.
- Tetapi kan kita harus kembali pada al-Qur’an dan hadis. Seperti kata Imam Malik, semua ucapan dapat ditolak kecuali ucapan Nabi.
#
Benar, harus kembali pada al-Qur’an dan hadis, tapi masalahnya
kembalinya itu dengan mengikuti pendapat ulama yang memang ahli atau
mengikuti pendapat pribadi kita yang cuma merasa ahli. Perkataan Imam
Malik itu benar sekali, semua bisa ditolak, termasuk ucapan Ibnu
Taymiyah dan al-Syatibi yang anti bid’ah hasanah dan anti maulid itu.
Tentu juga termasuk hasil tarjih anda sendiri yang mempermasalahkan
Maulid.
- Baik, tapi bukankah khilaf itu ada yang mu’tabar (diperhitungkan) dan ada yang tidak. Seperti dalam kaidah وَلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا إلَّا خِلَافًا لَهُ حَظٌّ مِنْ النَّظَر (tidak
semua perbedaan perbedaan pendapat diperhitungkan, hanya perbedaan yang
layak memang dipertimbangkan akal). Khilaf dalam masalah maulid tidak
layak diperhitungkan karena banyak pertimbangan, di antaranya
menyelisihi keumuman hadis bid’ah.
# Kaidah itu diucapkan
oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj. Beliau sendiri
termasuk ulama Syafi’iyah terkemuka yang sudah maklum mengakui adanya
bid’ah hasanah seperti halnya Imam Syafi’i. Soal menyelisihi keumuman
hadis bid’ah itu sudah dijawab oleh al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani
dan lain-lain bahwa keumuman hadis itu dikhususkan oleh hadis lain yang
beragam.
- Tapi kan semua alasan pengkhususan dan pembagian
bid’ah itu sudah dibantah oleh al-Syatibi dalam al-I’tisham dan oleh
ulama lain setelahnya?
# Soal ada ulama lain yang tidak
sepakat itu biasa. Anda di awal sudah mengakui bahwa ulama boleh berbeda
pendapat dan itu tidak tercela. Kalau sampai poin ini anda malah
mencela mereka yang tidak sependapat, berarti anda tidak konsisten dan
tidak menghargai ijtihad ulama yang jelas-jelas meskipun salah tetap ada
pahalanya. Argumen-argumen mereka terlalu panjang untuk dibahas dalam
sekali pertemuan dan tentang siapa yang dinilai lebih tepat, itu
penilaian subjektif, kita bisa berbeda pendapat.
Yang jelas,
al-Syatibi dalam hal ini tidak maksum dan tidak pula lebih utama dari
al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Abdissalam, justru level
keilmuan al-Syatibi di bawah tiga orang pendukung bid’ah hasanah
tersebut. Adapun ulama lain yang anda maksud semuanya mengekor di
belakang argumen al-Syatibi, hanya beberapa istilah yang berbeda,
misalnya al-Syatibi menggunakan istilah
bid’ah idlafiyah sedangkan Ibnu Utsaimin menggunakan istilah
bid’ah nisbiyah dan sebagainya.
Perbedaan
antara al-Syatibi yang menolak pembagian bid’ah dan Ibnu Abdissalam
yang membagi bid’ah menjadi lima berangkat dari perbedaan definisi dari
keduanya. Soal definisi bid’ah ini, Nabi sama sekali tidak pernah
menyebut apa definisi bid’ah itu secara tegas, jadi wajar kalau kemudian
ada perbedaan pendapat; ada yang memahaminya secara kebahasaan, ada
yang memahaminya menurut konteks penggunaan Nabi terhadap kata bid’ah,
ada definisi yang membatasi cakupan bid’ah hingga masa Rasulullah saja,
ada juga yang membatasi cakupannya hingga masa
Khulafa’ al-Rasyidin,
bahkan ada yang membatasi cakupannya hingga era salaf (era tabi’u
tabi’in) dan ada juga yang mengabaikan unsur cakupan masa, ada definisi
yang ketat, ada juga yang longgar. Kita apresiasi semua ijtihad ulama
itu, terlepas kita setuju atau tidak, yang benar mendapat dua pahala dan
yang salah satu pahala. Tentang definisi mana yang tepat, sekali lagi
ini penilaian subjektif. Sepanjang apapun analisisnya, selalu ada orang
yang memandang dari sudut yang berbeda.
- Tapi bagaimana bisa
Nabi mengatakan kata “kullu” (semua) dalam hadis celaan terhadap bid’ah
lalu hasil ijtihadnya menjadi tidak semua? Bukankah ini bertentangan?
# Itu sangat mungkin dan tidak berarti bertentangan. Dalam al-Qur’an banyak sekali kata yang memakai “
kullu”
tapi maksud sebenarnya bukannya tanpa pengecualian. Misalnya وَكَانَ
وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (di depan mereka ada
raja yang mengambil semua perahu dengan cara merampas), maksudnya bukan
semua perahu tanpa kecuali, tapi perahu yang bagus-bagus saja. (Contoh
ayat-ayat lainnya dapat anda lihat di
situswahab.wordpress.com tentang bahasan bid’ah). Syaikh Ibnu Utsaimin yang terkenal anti bid’ah hasanah dan anti maulid itu ternyata dalam
Syarah al-aqidah al-wasithiyah juga mengakui bahwa kata “
kullu”
itu tidak selalu berarti umum tanpa kecuali. Ini sewaktu beliau
menjawab argumen Muktazilah yang beralasan bahwa al-Qur’an itu makhluk
karena ia adalah “sesuatu” sedangkan Allah dalam al-Qur’an menyatakan
bahwa Dia adalah pencipta segala sesuatu (
kulli syai’in). Jadi, bersikukuh pada keumuman bid’ah hanya karena di sana ada lafaz “
kullu” adalah argumen yang dangkal.
- Kalau begitu bagaimana dengan kelanjutannya, apakah pernyataan “semua kesesatan ada di neraka” juga berarti sebagian kesesatan?
#
Ya tentu tidak, penentuan cakupan hadis berlaku umum atau tidak,
bukanlah bergantung pada pemaknaan lafaz “kullu” atau “semua” saja, tapi
bergantung pada ada tidaknya dalil yang mengkhususkan. Dalam pernyataan
“Semua bid’ah adalah sesat” ternyata menurut ulama pakar hadis ada
dalil yang mengkhususkan sedangkan pada pernyataan “semua kesesatan di
neraka” tidak ada hadis yang mengkhususkan sehingga berlaku umum. Jadi
patokannya di sini adalah hadis lain yang mengkhususkan, bukan
akal-akalan atau pemahaman yang dipaksa-paksakan karena tidak sesuai
selera.
- Lalu motif anda sendiri merayakan maulid itu apa? Ingin menyerupai natal atau bagaimana?
#
Yang menyebut motif perayaan maulid adalah ingin menyerupai natal
adalah orang-orang yang anti maulid, bukan yang mengamalkannya. Jadi,
itu tuduhan. Maulid itu sendiri adalah salah satu ekspresi kecintaan
terhadap Rasul. Ekspresi kecintaan itu beda-beda dan selama tidak
melanggar syariat tidak masalah. Misalnya sahabat Bilal mengungkapkan
ekspresi kecintaannya terhadap kesucian dengan cara salat sunnah dua
rakaat setiap selesai wudhu tanpa ada perintah Nabi sebelumnya, sahabat
lain mengungkapkan ekspresi kecintaan pada surat al-Ikhlas dengan cara
membacanya di tiap rakaat salat lalu setelah itu barulah membaca surat
lain. Kedua ekspresi kecintaan sahabat ini ternyata diakui oleh Nabi
meskipun Nabi sendiri tidak pernah menganjurkan sebelumnya, dan dalam
kasus kedua tetap tidak disunnahkan bagi orang lain, tapi diperbolehkan.
Soal ekspresi kecintaan terhadap nabi sendiri, para sahabat beda-beda
caranya; ada yang memperebutkan sisa air wudhu beliau, keringat beliau,
rambut beliau, bahkan ada yang sampai meminum air seni beliau padahal
Nabi sendiri menyuruh membuangnya. Semua itu ternyata diakui
kebolehannya oleh Nabi sendiri meskipun sebelumnya tidak diperintah
melakukan itu semua dan justru diperintah untuk memperlakukan beliau
sendiri sebagai manusia biasa dan jangan berlebihan. Setelah wafatnya
Nabi, Istri beliau menjadikan jubah beliau sebagi berkah kesembuhan
dengan cara dicelupkan ke air lalu diminumkan kepada orang yang sakit,
Khalid bin Walid menjadikan rambut nabi sebagai jimat keberuntungan di
pecinya dan ada juga berbagai peristiwa lain yang semuanya tanpa anjuran
dan arahan dari Nabi.
- Tapi itu semua kan di masa nabi hidup
sehingga hal-hal baru itu dapat dikoreksi oleh Nabi. Kalau sekarang
tidak boleh seperti itu.
# Berarti anda mengkhususkan dalil
tanpa adanya dalil lain yang mengkhususkan. Kami tidak menerima yang
seperti itu karena ada kaidah لا يقبل التخصيص الا بدليل (pengkhususan
cakupan tidak bisa diterima kecuali ada dalilnya). Kalau ada hadis yang
mengatakan persis seperti argumen anda itu baru kami bisa menerima.
- Tapi
bukankah mencintai nabi hanya dibenarkan dengan cara yang direstui Nabi
saja? Kalau mencintai Nabi dengan melakukan bid’ah seperti merayakan
maulid itu justru menentang Nabi sendiri yang mengharamkan bid’ah.
#
Soal bid’ah sudah kita bahas, ada perbedaan pendapat. Maulid dinilai
menentang ajaran Nabi itu kan perspektif anda saja? Anda harusnya
membuktikan bahwa merayakan maulid itu benar-benar tidak direstui Nabi
tanpa menggunakan keumuman hadis bid’ah. Argumen anda ini juga
bertentangan dengan fakta-fakta tentang ekspresi cinta para sahabat yang
saya sebut di atas.
- Gampang, buktinya adalah di masa Nabi
ada tuntutan untuk melakukan maulid, yakni mencari pahala, dan di saat
yang sama tidak ada halangan untuk melakukannya, tetapi para sahabat
ternyata tidak melakukannya. Ini bukti bahwa maulid adalah hal
terlarang, karena kalau tidak, maka para sahabat pasti telah mendahului
kita melakukannya karena mereka sangat mencintai Nabi.
# Logika yang anda pakai itu dimunculkan oleh Ibnu Taymiyah dan itu punya kelemahan karena berangkat dari asumsi yang salah.
Pertama,
asumsi bahwa semua jenis kebaikan dalam agama telah dilakukan oleh para
sahabat. Ini tidak tepat karena tidak ada yang bisa membatasi jumlah
kebaikan ada berapa.
Kedua, asumsi bahwa sahabat mustahil tidak
terpikirkan akan sesuatu. Ini juga tidak tepat karena faktanya banyak
hal yang sebelumnya tidak terpikirkan lalu terpikirkan belakangan.
Misalnya pada awalnya Nabi berkhutbah tanpa mimbar lalu terpikirkan
untuk membuat mimbar sehingga jangkauan khutbah lebih luas, lalu jadilah
sunnah berkhutbah di mimbar. Bisa saja maulid merupakan hal yang tidak
terpikirkan. Sesuai kaidah, مع الإحتمال سقط الإستدلال (kalau masih belum
jelas betul, tak bisa dijadikan dalil). Anda harus membuktikan bahwa
para sahabat sudah pernah memikirkan perayaan Maulid, tapi sengaja
meninggalkannya.
Ketiga, asumsi bahwa semua sahabat wajib
melakukan hal yang utama dan meninggalkan hal yang menurutnya tidak
utama. Ini juga tidak tepat, sudah maklum bahwa sebagian sahabat
meninggalkan sesuatu amalan bukan karena dilarang, tapi karena sibuk
dengan amalan yang dianggapnya lebih utama. Misalnya, para sahabat
meninggalkan salat sunnah dengan duduk, bukan karena itu dilarang tapi
karena tidak utama. Dengan demikian, para sahabat tidak melakukan suatu
amalan tidak mesti menunjukkan kalau amalan itu haram.
Selain itu,
logika Ibnu Taymiyah itu juga bisa dipakai untuk membela maulid karena
logika itu mengakui bahwa bisa saja muncul “tuntutan” atau “muqtadli”
baru yang tidak ada di masa Nabi, seperti contoh: penambahan azan di
salat Jumat oleh Khalifah Utsman diperbolehkan meskipun sebelumnya tidak
pernah terjadi karena ada tuntutan baru, yakni faktor semakin banyaknya
umat Islam. Dengan demikian kami juga berhak untuk berkata bahwa
perayaan Maulid diperbolehkan karena ada tuntutan baru, yakni butuhnya
metode dakwah baru untuk umat yang semakin malas. Kalau anda menganggap
alasan ini dibuat-buat, kami juga bisa menganggap alasan persetujuan
anda terhadap penambahan azan Jumat itu dibuat-buat dan tidak konsisten.
- Tapi bukankah ada kaidahnya, لو كان خيرا لسبقونا اليه (kalau memang baik, tentu mereka sudah mendahului kita melakukannya)?
#
Kaidah itu bukanlah hal yang disepakati, hanya muncul dari Ibnu
Taymiyah dan pengikutnya, di antaranya adalah Ibnu Katsir. Kelemahan
kaidah itu adalah asumsi-asumsi seperti saya sebut sebelumnya. Kalaupun
mau disetujui, maka kaidah itu harus menerima pengecualian. Kalau tidak
mau menerima pengecualian, maka silakan katakan pada Khalifah Utsman
bahwa andai menambah azan memang baik, maka tentu Khalifah Abu Bakar dan
Umar sudah mendahului anda melakukannya. Katakan juga pada Khalifah
Umar bahwa andai mengumpulkan sahabat untuk setiap hari salat tarawih di
belakang satu imam dengan jumlah 20 rakaat dan selalu dilakukan di awal
waktu adalah kebaikan, maka pasti Khalifah Abu Bakar sudah mendahului
anda!. Silakan juga katakan hal yang sama pada Imam Masjidil Haram
sekarang yang setiap tanggal 27 Ramadhan selalu istiqamah memberikan
khutbah dan berdoa bersama-sama dalam rangka
lailatul qadar.
- Tapi bukankah Maulid itu mula-mula dilakukan oleh Syi’ah pada abad kelima seperti disebutkan oleh al-Maqrizi dalam al-Khithath? Dengan demikian melakukan maulid berarti meneladani dan menyerupai Syi’ah.
#
Memang al-Maqrizi menyebut demikian, tapi yang perlu anda catat adalah
perayaan maulid ala Syi’ah itu berbeda maksudnya dengan perayaan maulid
Ahlussunnah. Mereka merayakan maulid Nabi demi menyebarkan ajaran Syi’ah
sehingga maulidnya macam-macam, ada Maulid Nabi, Maulid Ali, Maulid
Fathimah, Maulid Hasan, Maulid Husain dan Maulid Raja saat itu. Sudah
jelas motifnya adalah politik dan dakwah Syi’ah.
- Tapi bukankah merayakan Maulid berarti menambah hari raya Islam ketiga?
#
Itu masalah sudut pandang; orang yang anti Maulid biasa mengatakan itu,
tapi orang yang melakukan Maulid tidak ada yang bermaksud seperti itu.
Bagi yang melakukan maulid, hari raya Islam tetap dua dan Maulid adalah
konteks yang sepenuhnya berbeda. Sama halnya dengan ulama Saudi
mendukung peringatan hari kemerdekaan Negara Saudi dan mengistimewakan
tanggal 27 bulan Ramadhan sehingga orang tumpah ruah di tanggal itu
seperti mereka tumpah ruah di hari raya, apakah mereka bermaksud membuat
hari raya ketiga?. Tentu konteksnya berbeda.
- Tapi bukankah
Maulid Nabi itu tanggalnya tidak jelas betul kapan? Ada banyak perbedaan
pendapat mengenai tanggal lahir Nabi. Dengan demikian, dasar maulid
adalah suatu ketidakjelasan.
# Benar, tapi orang yang
melakukan maulid itu tidak peduli pada tanggal berapa karena yang utama
adalah ekspresi rasa cinta terhadap Nabi dan Rasa syukur atas kelahiran
beliau, tanggal dan waktunya tidak penting. Karena itu, tanggal perayaan
maulid tidak selalu di hari yang sama, bahkan di Indonesia ada yang
merayakan maulid setelah lewat dari bulan Rabi’ul Awal karena bergantian
merayakannya dengan penyelenggara lain di daerah yang sama atau karena
belum ada biaya. Yang jelas, tidak ada yang protes mengenai hal ini
dengan berkata “maulid kamu tidak sah karena waktunya tidak tepat”. Ini
juga bukti bahwa perayaan maulid oleh para pelakunya tidaklah
diposisikan sama dengan hari raya yang waktunya harus jelas. Orang yang
anti maulid salah paham mengira peringatan maulid diposisikan sebagai
ibadah mandiri yang murni baru yang punya syarat-syarat tertentu
sebagaimana ibadah lain yang kalau itu dilanggar menjadi tidak sah.
Hasilnya, mereka menyamakan maulid dengan
bid’ah sayyi’ah,
dengan hari natal dan mempermasalahkan tanggalnya. Padahal maulid bagi
pengamalnya bukan seperti itu. Soal kenapa Maulid biasanya dilakukan
pada tanggal 12 Rabiul Awal, itu masalah teknis karena di tanggal itulah
momen ini lebih diingat orang, bukan karena ada nilai ibadah tersendiri
di tanggal itu.
- Tapi bukankah beda antara peringatan dan
perayaan? Maulid Nabi oleh orang sekarang tidak hanya sebagai
peringatan, tapi sudah menjelma menjadi perayaan yang banyak mengandung
kemungkaran seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan dan sebagainya.
Kalau sekedar peringatan sih masih bisa dimaklumi.
# Yang
perlu dicatat, ulama yang memperbolehkan maulid itu dengan satu catatan
bahwa isi dari maulid itu tidak bertentangan dengan syariat. Kalau
ternyata ada yang bertentangan dengan syariat, maka yang dilarang adalah
hal yang bertentangan itu tadi, bukan kegiatan maulidnya sendiri.
Masalahnya, melarang maulid secara umum berarti melarang orang yang
menyelenggarakan maulid hanya dengan cara pembacaan sirah Nabi, salawat
dan doa yang dalam istilah anda “hanya peringatan”, bukan perayaan.
Kalau anda mau menggugat praktek maulid yang tidak melanggar aturan
seperti ini dengan alasan
bid’ah nisbiyah, bid’ah idlafiyah atau apapun istilahnya, berarti kita berputar ke awal lagi tentang bahasan bid’ah.
- Lalu
bagaimana pendapat anda tentang orang yang beralasan bahwa Maulid
adalah ungkapan rasa syukur terhadap kelahiran Nabi, bukankah rasa
syukur itu harusnya tiap hari bukan dibatasi setiap tahun sekali?
#
Tepat, kenyataannya memang rasa syukur itu dilakukan setiap hari oleh
mereka, sama juga dengan anda, dengan cara melakukan ajaran Islam.
Banyak dari mereka yang memperingati maulid setiap Minggu dengan cara
membaca syair-syair pujian atas Nabi, ini juga peringatan maulid
meskipun sederhana. Perayaan sekali setahun itu hanya momen besarnya
saja. Soal anda tidak setuju dengan momen besar ini tidak masalah. Ini
masalah furu’iyah dan bukan aturan yang sharih dari Nabi.
- Tapi
kenyataannya tidak seperti yang anda katakan. Orang yang melakukan
maulid biasa menyalahkan orang yang tidak mau melakukan maulid dan
bahkan menganggap mereka yang anti maulid sebagai kurang mencintai Nabi.
Bukankah ini berarti menjadikan maulid sebagai syariat baru yang para
pengingkarnya dicela?
# Yang anda bicarakan itu adalah orang
awam. Maklum kalau mereka bersikap seperti itu karena memang awam dalam
masalah agama dan hanya ikut-ikutan. Tentu saja, kita sepakat pemahaman
mereka harus diluruskan. Dalam kasus maulid, yang salah paham bukan
hanya golongan anda, tapi juga golongan kami.
- Lalu bagaimana
tentang argumen pengamal maulid yang mengkiaskan antara peringatan
maulid dengan puasa Asyura’ yang dilakukan Nabi karena mengikuti tradisi
Yahudi yang mensyukuri selamatnya Nabi Musa dan tenggelamnya Fir’aun.
Kalau memang itu alasannya kenapa mereka tidak mensyukuri kelahiran Nabi
dengan berpuasa saja daripada berbuat bid’ah? Selain itu dalam argumen
seperti itu berarti mewajibkan tanggal tertentu untuk maulid seperti
halnya tanggal tertentu untuk puasa Asyura. Ini berbeda dengan apa yang
anda kemukakan di sini bahwa tanggal tidak penting.
#
Tahukah anda siapa yang berargumen seperti itu pertama kali? Dia adalah
Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Imam
al-Hafidz al-Suyuthi dalam
Husnul Maqshad. Pertanyaan anda
sudah dijawab oleh beliau bahwa rasa syukur itu dapat diungkapkan dengan
cara yang berbeda-beda, bisa puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan
ibadah lainnya yang disyariatkan. Soal konsekuensi dari argumen ini
berarti harus menetapkan tanggal tertentu, memang ini adalah
kelemahannya dan kelemahan argumen ini juga sudah diwanti-wanti oleh
imam al-Suyuthi sendiri, karena itu saya secara pribadi tidak
memakainya. Tapi argumen ini juga masih bisa dibenarkan karena ada
kaidah لازم المذهب ليس بمذهب (konsekuensi logis dari suatu mazhab
bukanlah mazhab itu sendiri), bisa jadi al-Hafidz Ibnu Hajar tidak
bermaksud mengkhususkan tanggal tertentu untuk maulid meski arahnya
sepintas ke sana.
- Baik, tapi satu hal lagi. Anda menyebutkan
banyak tindakan para sahabat di sini tapi tidak menyebutkan hadis dan
sanadnya, apa hadis-hadisnya sahih? Anda juga menyebut nama-nama ulama
tapi tidak menyebutkan kutipan aslinya dan dalam kitab apa halaman
berapa, apa benar ada pernyataan seperti itu?
# Waduh, kalau
hal yang umum seperti ini saja anda tidak tahu, bagaimana bisa anda
merasa berhak melakukan tarjih atas ikhtilaf ulama?. Saya disini hanya
berusaha memperlihatkan
mind set-nya. Selamat belajar kawan.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad waAli Muhammad!
sumber : https://www.facebook.com/notes/abdul-wahab/dialog-tentang-maulid-nabi/689495611071696
0 comments:
Post a Comment
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.