Breaking News
Tuesday 7 January 2014

Dialog Tentang Maulid Nabi

(Mumpung momen Maulid, saya buat simulasi dialog. Semoga bermanfaat bagi siapapun yang berminat dengan topik seperti ini, baik yang setuju maupun tidak)

  • Kenapa anda merayakan maulid, padahal Nabi dan para sahabat tidak melakukannya?
# Pertanyaannya harusnya kenapa anda mempermasalahkan perayaan maulid, padahal esensi maulid itu memuliakan Nabi?
  • Karena itu merupakan bid’ah dalam agama dan setiap bid’ah dalam agama adalah sesat.
# Sebelum dialog dilanjutkan, kita harus meluruskan satu hal dulu. Apakah anda mengakui kebolehan ikhtilaf dalam masalah furu’iyah? Kalau anda mengakuinya, diskusi bisa berlanjut. Kalau anda tidak mengakuinya dan merasa bahwa satu-satunya yang benar adalah pemahaman anda terhadap hadis sedangkan semua ulama yang berbeda dengan pemahaman anda adalah pasti salah, maka percuma ada diskusi.
  • Ya, saya mengakui kebolehan ikhtilaf dalam masalah furu’iyah.
# kalau demikian anda pasti tahu kalau dalam masalah ini ada ikhtilaf antara ulama. Sebagaimana para sahabat berbeda pendapat dalam banyak hal sampai-sampai Imam Syafi’i tidak menjadikan qaul sahabat sebagai hujjah mandiri dan begitu pula tabi’in berbeda pendapat hingga Imam Abu Hanifah menolak menjadikan qaul mereka sebagai hujjah mandiri dengan berkomentar “mereka adalah lelaki, kita juga lelaki”. Soal maulid juga demikian, para ulama berbeda pendapat.
  • Tapi bukankah kita bisa tarjih dan memilih?
# Benar, tapi sampai di sini masalahnya terulang lagi. Kalau anda merasa bahwa hasil tarjih anda pasti benar dan hasil tarjih orang lain pasti salah, maka diskusi tidak mungkin dilakukan karena sebanyak apapun argumen yang dikeluarkan lawan pasti anda tolak. Kalaupun anda tidak mampu menolak argumen lawan, anda tidak mungkin mengaku salah, tapi pulang dan mencari jawaban baru yang menurut anda lebih kuat lalu mengajak diskusi lagi dan hasilnya bisa berulang lagi. Kalau demikian, berdiskusi dengan anda adalah percuma. Lain halnya kalau anda mengakui bahwa orang lain berhak menghasilkan tarjih yang berbeda, maka diskusi bisa dilanjutkan.
  • Baik, saya mengakui bahwa orang lain berhak menghasilkan tarjih yang berbeda.
# Kalau begitu, anda tidak boleh mencela orang yang mengikuti pendapat al-Hafidz Abu Syamah al-Maqdisi, Ibnu al-Jauzi, Ibnu al-Jazari, Ibnu Hajar al-‘Asqalani,  al-Suyuthi, al-Sakhawi, al-Zarqani dan begitu banyak ulama besar lainnya yang mengakui kebolehan merayakan maulid Nabi meskipun sebelumnya tidak ada karena menurut mereka itu adalah kebaikan.
  • Tetapi kan kita harus kembali pada al-Qur’an dan hadis. Seperti kata Imam Malik, semua ucapan dapat ditolak kecuali ucapan Nabi.
# Benar, harus kembali pada al-Qur’an dan hadis, tapi masalahnya kembalinya itu dengan mengikuti pendapat ulama yang memang ahli atau mengikuti pendapat pribadi kita yang cuma merasa ahli. Perkataan Imam Malik itu benar sekali, semua bisa ditolak, termasuk ucapan Ibnu Taymiyah dan al-Syatibi yang anti bid’ah hasanah dan anti maulid itu. Tentu juga termasuk hasil tarjih anda sendiri yang mempermasalahkan Maulid.
  • Baik, tapi bukankah khilaf itu ada yang mu’tabar (diperhitungkan) dan ada yang tidak. Seperti dalam kaidah وَلَيْسَ كُلُّ خِلَافٍ جَاءَ مُعْتَبَرًا إلَّا خِلَافًا لَهُ حَظٌّ مِنْ النَّظَر (tidak semua perbedaan perbedaan pendapat diperhitungkan, hanya perbedaan yang layak memang dipertimbangkan akal). Khilaf dalam masalah maulid tidak layak diperhitungkan karena banyak pertimbangan, di antaranya menyelisihi keumuman hadis bid’ah.
# Kaidah itu diucapkan oleh Ibnu Hajar al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj. Beliau sendiri termasuk ulama Syafi’iyah terkemuka yang sudah maklum mengakui adanya bid’ah hasanah seperti halnya Imam Syafi’i. Soal menyelisihi keumuman hadis bid’ah itu sudah dijawab oleh al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani dan lain-lain bahwa keumuman hadis itu dikhususkan oleh hadis lain yang beragam.
  • Tapi kan semua alasan pengkhususan dan pembagian bid’ah itu sudah dibantah oleh al-Syatibi dalam al-I’tisham dan oleh ulama lain setelahnya?
# Soal ada ulama lain yang tidak sepakat itu biasa. Anda di awal sudah mengakui bahwa ulama boleh berbeda pendapat dan itu tidak tercela. Kalau sampai poin ini anda malah mencela mereka yang tidak sependapat, berarti anda tidak konsisten dan tidak menghargai ijtihad ulama yang jelas-jelas meskipun salah tetap ada pahalanya. Argumen-argumen mereka terlalu panjang untuk dibahas dalam sekali pertemuan dan tentang siapa yang dinilai lebih tepat, itu penilaian subjektif, kita bisa berbeda pendapat.
Yang jelas, al-Syatibi dalam hal ini tidak maksum dan tidak pula lebih utama dari al-Nawawi, Ibnu Hajar al-Asqalani dan Ibnu Abdissalam, justru level keilmuan al-Syatibi di bawah tiga orang pendukung bid’ah hasanah tersebut. Adapun ulama lain yang anda maksud semuanya mengekor di belakang argumen al-Syatibi, hanya beberapa istilah yang berbeda, misalnya al-Syatibi menggunakan istilah bid’ah idlafiyah sedangkan Ibnu Utsaimin menggunakan istilah bid’ah nisbiyah dan sebagainya.
Perbedaan antara al-Syatibi yang menolak pembagian bid’ah dan Ibnu Abdissalam yang membagi bid’ah menjadi lima berangkat dari perbedaan definisi dari keduanya. Soal definisi bid’ah ini, Nabi sama sekali tidak pernah menyebut apa definisi bid’ah itu secara tegas, jadi wajar kalau kemudian ada perbedaan pendapat; ada yang memahaminya secara kebahasaan, ada yang memahaminya menurut konteks penggunaan Nabi terhadap kata bid’ah, ada definisi yang membatasi cakupan bid’ah hingga masa Rasulullah saja, ada juga yang membatasi cakupannya hingga masa Khulafa’ al-Rasyidin, bahkan ada yang membatasi cakupannya hingga era salaf (era tabi’u tabi’in)  dan ada juga yang mengabaikan unsur cakupan masa, ada definisi yang ketat, ada juga yang longgar. Kita apresiasi semua ijtihad ulama itu, terlepas kita setuju atau tidak, yang benar mendapat dua pahala dan yang salah satu pahala. Tentang definisi mana yang tepat, sekali lagi ini penilaian subjektif. Sepanjang apapun analisisnya, selalu ada orang yang memandang dari sudut yang berbeda.
  • Tapi bagaimana bisa Nabi mengatakan kata “kullu” (semua) dalam hadis celaan terhadap bid’ah lalu hasil ijtihadnya menjadi tidak semua? Bukankah ini bertentangan?
# Itu sangat mungkin dan tidak berarti bertentangan. Dalam al-Qur’an banyak sekali kata yang memakai “kullu” tapi maksud sebenarnya bukannya tanpa pengecualian. Misalnya وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا (di depan mereka ada raja yang mengambil semua perahu dengan cara merampas), maksudnya bukan semua perahu tanpa kecuali, tapi perahu yang bagus-bagus saja. (Contoh ayat-ayat lainnya dapat anda lihat di situswahab.wordpress.com tentang bahasan bid’ah). Syaikh Ibnu Utsaimin yang terkenal anti bid’ah hasanah dan anti maulid itu ternyata dalam Syarah al-aqidah al-wasithiyah juga mengakui bahwa kata “kullu” itu tidak selalu berarti umum tanpa kecuali. Ini sewaktu beliau menjawab argumen Muktazilah yang beralasan bahwa al-Qur’an itu makhluk karena ia adalah “sesuatu” sedangkan Allah dalam al-Qur’an menyatakan bahwa Dia adalah pencipta segala sesuatu (kulli syai’in). Jadi, bersikukuh pada keumuman bid’ah hanya karena di sana ada lafaz “kullu” adalah argumen yang dangkal.
  • Kalau begitu bagaimana dengan kelanjutannya, apakah pernyataan “semua kesesatan ada di neraka” juga berarti sebagian kesesatan?
# Ya tentu tidak, penentuan cakupan hadis berlaku umum atau tidak, bukanlah bergantung pada pemaknaan lafaz “kullu” atau “semua” saja, tapi bergantung pada ada tidaknya dalil yang mengkhususkan. Dalam pernyataan “Semua bid’ah adalah sesat” ternyata menurut ulama pakar hadis ada dalil yang mengkhususkan sedangkan pada pernyataan “semua kesesatan di neraka” tidak ada hadis yang mengkhususkan sehingga berlaku umum. Jadi patokannya di sini adalah hadis lain yang mengkhususkan, bukan akal-akalan atau pemahaman yang dipaksa-paksakan karena tidak sesuai selera.
  • Lalu motif anda sendiri merayakan maulid itu apa? Ingin menyerupai natal atau bagaimana?
# Yang menyebut motif perayaan maulid adalah ingin menyerupai natal adalah orang-orang yang anti maulid, bukan yang mengamalkannya. Jadi, itu tuduhan. Maulid itu sendiri adalah salah satu ekspresi kecintaan terhadap Rasul. Ekspresi kecintaan itu beda-beda dan selama tidak melanggar syariat tidak masalah. Misalnya sahabat Bilal mengungkapkan ekspresi kecintaannya terhadap kesucian dengan cara salat sunnah dua rakaat setiap selesai wudhu tanpa ada perintah Nabi sebelumnya, sahabat lain mengungkapkan ekspresi kecintaan pada surat al-Ikhlas dengan cara membacanya di tiap rakaat salat lalu setelah itu barulah membaca surat lain. Kedua ekspresi kecintaan sahabat ini ternyata diakui oleh Nabi meskipun Nabi sendiri tidak pernah menganjurkan sebelumnya, dan dalam kasus kedua tetap tidak disunnahkan bagi orang lain, tapi diperbolehkan. Soal ekspresi kecintaan terhadap nabi sendiri, para sahabat beda-beda caranya; ada yang memperebutkan sisa air wudhu beliau, keringat beliau, rambut beliau, bahkan ada yang sampai meminum air seni beliau padahal Nabi sendiri menyuruh membuangnya. Semua itu ternyata diakui kebolehannya oleh Nabi sendiri meskipun sebelumnya tidak diperintah melakukan itu semua dan justru diperintah untuk memperlakukan beliau sendiri sebagai manusia biasa dan jangan berlebihan. Setelah wafatnya Nabi, Istri beliau menjadikan jubah beliau sebagi berkah kesembuhan dengan cara dicelupkan ke air lalu diminumkan kepada orang yang sakit, Khalid bin Walid menjadikan rambut nabi sebagai jimat keberuntungan di pecinya dan ada juga berbagai peristiwa lain yang semuanya tanpa anjuran dan arahan dari Nabi.
  • Tapi itu semua kan di masa nabi hidup sehingga hal-hal baru itu dapat dikoreksi oleh Nabi. Kalau sekarang tidak boleh seperti itu.
# Berarti anda mengkhususkan dalil tanpa adanya dalil lain yang mengkhususkan. Kami tidak menerima yang seperti itu karena ada kaidah لا يقبل التخصيص الا بدليل (pengkhususan cakupan tidak bisa diterima kecuali ada dalilnya). Kalau ada hadis yang mengatakan persis seperti argumen anda itu baru kami bisa menerima.
  • Tapi bukankah mencintai nabi hanya dibenarkan dengan cara yang direstui Nabi saja? Kalau mencintai Nabi dengan melakukan bid’ah seperti merayakan maulid itu justru menentang Nabi sendiri yang mengharamkan bid’ah.
# Soal bid’ah sudah kita bahas, ada perbedaan pendapat. Maulid dinilai menentang ajaran Nabi itu kan perspektif anda saja? Anda harusnya membuktikan bahwa merayakan maulid itu benar-benar tidak direstui Nabi tanpa menggunakan keumuman hadis bid’ah. Argumen anda ini juga bertentangan dengan fakta-fakta tentang ekspresi cinta para sahabat yang saya sebut di atas.
  • Gampang, buktinya adalah di masa Nabi ada tuntutan untuk melakukan maulid, yakni mencari pahala, dan di saat yang sama tidak ada halangan untuk melakukannya, tetapi para sahabat ternyata tidak melakukannya. Ini bukti bahwa maulid adalah hal terlarang, karena kalau tidak, maka para sahabat pasti telah mendahului kita melakukannya karena mereka sangat mencintai Nabi.
# Logika yang anda pakai itu dimunculkan oleh Ibnu Taymiyah dan itu punya kelemahan karena berangkat dari asumsi yang salah. Pertama, asumsi bahwa semua jenis kebaikan dalam agama telah dilakukan oleh para sahabat. Ini tidak tepat karena tidak ada yang bisa membatasi jumlah kebaikan ada berapa. Kedua, asumsi bahwa sahabat mustahil tidak terpikirkan akan sesuatu. Ini juga tidak tepat karena faktanya banyak hal yang sebelumnya tidak terpikirkan lalu terpikirkan belakangan. Misalnya pada awalnya Nabi berkhutbah tanpa mimbar lalu terpikirkan untuk membuat mimbar sehingga jangkauan khutbah lebih luas, lalu jadilah sunnah berkhutbah di mimbar. Bisa saja maulid merupakan hal yang tidak terpikirkan. Sesuai kaidah, مع الإحتمال سقط الإستدلال (kalau masih belum jelas betul, tak bisa dijadikan dalil). Anda harus membuktikan bahwa para sahabat sudah pernah memikirkan perayaan Maulid, tapi sengaja meninggalkannya. Ketiga, asumsi bahwa semua sahabat wajib melakukan hal yang utama dan meninggalkan hal yang menurutnya tidak utama. Ini juga tidak tepat, sudah maklum bahwa sebagian sahabat meninggalkan sesuatu amalan bukan karena dilarang, tapi karena sibuk dengan amalan yang dianggapnya lebih utama. Misalnya, para sahabat meninggalkan salat sunnah dengan duduk, bukan karena itu dilarang tapi karena tidak utama. Dengan demikian, para sahabat tidak melakukan suatu amalan tidak mesti menunjukkan kalau amalan itu haram.
Selain itu, logika Ibnu Taymiyah itu juga bisa dipakai untuk membela maulid karena logika itu mengakui bahwa bisa saja muncul “tuntutan” atau “muqtadli” baru yang tidak ada di masa Nabi, seperti contoh: penambahan azan di salat Jumat oleh Khalifah Utsman diperbolehkan meskipun sebelumnya tidak pernah terjadi karena ada tuntutan baru, yakni faktor semakin banyaknya umat Islam. Dengan demikian kami juga berhak untuk berkata bahwa perayaan Maulid diperbolehkan karena ada tuntutan baru, yakni butuhnya metode dakwah baru untuk umat yang semakin malas. Kalau anda menganggap alasan ini dibuat-buat, kami juga bisa menganggap alasan persetujuan anda terhadap penambahan azan Jumat itu dibuat-buat dan tidak konsisten.
  • Tapi bukankah ada kaidahnya, لو كان خيرا لسبقونا اليه (kalau memang baik, tentu mereka sudah mendahului kita melakukannya)?
# Kaidah itu bukanlah hal yang disepakati, hanya muncul dari Ibnu Taymiyah dan pengikutnya, di antaranya adalah Ibnu Katsir. Kelemahan kaidah itu adalah asumsi-asumsi seperti saya sebut sebelumnya. Kalaupun mau disetujui, maka kaidah itu harus menerima pengecualian. Kalau tidak mau menerima pengecualian, maka silakan katakan pada Khalifah Utsman bahwa andai menambah azan memang baik, maka tentu Khalifah Abu Bakar dan Umar sudah mendahului anda melakukannya. Katakan juga pada Khalifah Umar bahwa andai mengumpulkan sahabat untuk setiap hari salat tarawih di belakang satu imam dengan jumlah 20 rakaat dan selalu dilakukan di awal waktu adalah kebaikan, maka pasti Khalifah Abu Bakar sudah mendahului anda!. Silakan juga katakan hal yang sama pada Imam Masjidil Haram sekarang yang setiap tanggal 27 Ramadhan selalu istiqamah memberikan khutbah dan berdoa bersama-sama dalam rangka lailatul qadar.
  • Tapi bukankah Maulid itu mula-mula dilakukan oleh Syi’ah pada abad kelima seperti disebutkan oleh al-Maqrizi dalam al-Khithath? Dengan demikian melakukan maulid berarti meneladani dan menyerupai Syi’ah.
# Memang al-Maqrizi menyebut demikian, tapi yang perlu anda catat adalah perayaan maulid ala Syi’ah itu berbeda maksudnya dengan perayaan maulid Ahlussunnah. Mereka merayakan maulid Nabi demi menyebarkan ajaran Syi’ah sehingga maulidnya macam-macam, ada Maulid Nabi, Maulid Ali, Maulid Fathimah, Maulid Hasan, Maulid Husain dan Maulid Raja saat itu. Sudah jelas motifnya adalah politik dan dakwah Syi’ah.
  • Tapi bukankah merayakan Maulid berarti menambah hari raya Islam ketiga?
# Itu masalah sudut pandang; orang yang anti Maulid biasa mengatakan itu, tapi orang yang melakukan Maulid tidak ada yang bermaksud seperti itu. Bagi yang melakukan maulid, hari raya Islam tetap dua dan Maulid adalah konteks yang sepenuhnya berbeda. Sama halnya dengan ulama Saudi mendukung peringatan hari kemerdekaan Negara Saudi dan mengistimewakan tanggal 27 bulan Ramadhan sehingga orang tumpah ruah di tanggal itu seperti mereka tumpah ruah di hari raya, apakah mereka bermaksud membuat hari raya ketiga?. Tentu konteksnya berbeda.
  • Tapi bukankah Maulid Nabi itu tanggalnya tidak jelas betul kapan? Ada banyak perbedaan pendapat mengenai tanggal lahir Nabi. Dengan demikian, dasar maulid adalah suatu ketidakjelasan.
# Benar, tapi orang yang melakukan maulid itu tidak peduli pada tanggal berapa karena yang utama adalah ekspresi rasa cinta terhadap Nabi dan Rasa syukur atas kelahiran beliau, tanggal dan waktunya tidak penting. Karena itu, tanggal perayaan maulid tidak selalu di hari yang sama, bahkan di Indonesia ada yang merayakan maulid setelah lewat dari bulan Rabi’ul Awal karena bergantian merayakannya dengan penyelenggara lain di daerah yang sama atau karena belum ada biaya. Yang jelas, tidak ada yang protes mengenai hal ini dengan berkata “maulid kamu tidak sah karena waktunya tidak tepat”. Ini juga bukti bahwa perayaan maulid oleh para pelakunya tidaklah diposisikan sama dengan hari raya yang waktunya harus jelas. Orang yang anti maulid salah paham mengira peringatan maulid diposisikan sebagai ibadah mandiri yang murni baru yang punya syarat-syarat tertentu sebagaimana ibadah lain yang kalau itu dilanggar menjadi tidak sah. Hasilnya, mereka menyamakan maulid dengan bid’ah sayyi’ah, dengan hari natal dan mempermasalahkan tanggalnya. Padahal maulid bagi pengamalnya bukan seperti itu. Soal kenapa Maulid biasanya dilakukan pada tanggal 12 Rabiul Awal, itu masalah teknis karena di tanggal itulah momen ini lebih diingat orang, bukan karena ada nilai ibadah tersendiri di tanggal itu.
  • Tapi bukankah beda antara peringatan dan perayaan? Maulid Nabi oleh orang sekarang tidak hanya sebagai peringatan, tapi sudah menjelma menjadi perayaan yang banyak mengandung kemungkaran seperti bercampurnya laki-laki dan perempuan dan sebagainya. Kalau sekedar peringatan sih masih bisa dimaklumi.
#  Yang perlu dicatat, ulama yang memperbolehkan maulid itu dengan satu catatan bahwa isi dari maulid itu tidak bertentangan dengan syariat. Kalau ternyata ada yang bertentangan dengan syariat, maka yang dilarang adalah hal yang bertentangan itu tadi, bukan kegiatan maulidnya sendiri. Masalahnya, melarang maulid secara umum berarti melarang orang yang menyelenggarakan maulid hanya dengan cara pembacaan sirah Nabi, salawat dan doa yang dalam istilah anda “hanya peringatan”, bukan perayaan. Kalau anda mau menggugat praktek maulid yang tidak melanggar aturan seperti ini dengan alasan bid’ah nisbiyah, bid’ah idlafiyah atau apapun istilahnya, berarti kita berputar ke awal lagi tentang bahasan bid’ah.
  • Lalu bagaimana pendapat anda tentang orang yang beralasan bahwa Maulid adalah ungkapan rasa syukur terhadap kelahiran Nabi, bukankah rasa syukur itu harusnya tiap hari bukan dibatasi setiap tahun sekali?
# Tepat, kenyataannya memang rasa syukur itu dilakukan setiap hari oleh mereka, sama juga dengan anda, dengan cara melakukan ajaran Islam. Banyak dari mereka yang memperingati maulid setiap Minggu dengan cara membaca syair-syair pujian atas Nabi, ini juga peringatan maulid meskipun sederhana. Perayaan sekali setahun itu hanya momen besarnya saja. Soal anda tidak setuju dengan momen besar ini tidak masalah. Ini masalah furu’iyah dan bukan aturan yang sharih dari Nabi.
  • Tapi kenyataannya tidak seperti yang anda katakan. Orang yang melakukan maulid biasa menyalahkan orang yang tidak mau melakukan maulid dan bahkan menganggap mereka yang anti maulid sebagai kurang mencintai Nabi. Bukankah ini berarti menjadikan maulid sebagai syariat baru yang para pengingkarnya dicela?
# Yang anda bicarakan itu adalah orang awam. Maklum kalau mereka bersikap seperti itu karena memang awam dalam masalah agama dan hanya ikut-ikutan. Tentu saja, kita sepakat pemahaman mereka harus diluruskan. Dalam kasus maulid, yang salah paham bukan hanya golongan anda, tapi juga golongan kami.
  • Lalu bagaimana tentang argumen pengamal maulid yang mengkiaskan antara peringatan maulid dengan puasa Asyura’ yang dilakukan Nabi karena mengikuti tradisi Yahudi yang mensyukuri selamatnya Nabi Musa dan tenggelamnya Fir’aun. Kalau memang itu alasannya kenapa mereka tidak mensyukuri kelahiran Nabi dengan berpuasa saja daripada berbuat bid’ah? Selain itu dalam argumen seperti itu berarti mewajibkan tanggal tertentu untuk maulid seperti halnya tanggal tertentu untuk puasa Asyura. Ini berbeda dengan apa yang anda kemukakan di sini bahwa tanggal tidak penting.
# Tahukah anda siapa yang berargumen seperti itu pertama kali? Dia adalah Imam al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip oleh Imam al-Hafidz al-Suyuthi dalam Husnul Maqshad. Pertanyaan anda sudah dijawab oleh beliau bahwa rasa syukur itu dapat diungkapkan dengan cara yang berbeda-beda, bisa puasa, sedekah, membaca al-Qur’an dan ibadah lainnya yang disyariatkan. Soal konsekuensi dari argumen ini berarti harus menetapkan tanggal tertentu, memang ini adalah kelemahannya dan kelemahan argumen ini juga sudah diwanti-wanti oleh imam al-Suyuthi sendiri, karena itu saya secara pribadi tidak memakainya. Tapi argumen ini juga masih bisa dibenarkan karena ada kaidah لازم المذهب ليس بمذهب (konsekuensi logis dari suatu mazhab bukanlah mazhab itu sendiri), bisa jadi al-Hafidz Ibnu Hajar tidak bermaksud mengkhususkan tanggal tertentu untuk maulid meski arahnya sepintas ke sana.
  • Baik, tapi satu hal lagi. Anda menyebutkan banyak tindakan para sahabat di sini tapi tidak menyebutkan hadis dan sanadnya, apa hadis-hadisnya sahih? Anda juga menyebut nama-nama ulama tapi tidak menyebutkan kutipan aslinya dan dalam kitab apa halaman berapa, apa benar ada pernyataan seperti itu?
# Waduh, kalau hal yang umum seperti ini saja anda tidak tahu, bagaimana bisa anda merasa berhak melakukan tarjih atas ikhtilaf ulama?. Saya disini hanya berusaha memperlihatkan mind set-nya. Selamat belajar kawan.

Allahumma shalli ‘ala Muhammad waAli Muhammad!
sumber  :  https://www.facebook.com/notes/abdul-wahab/dialog-tentang-maulid-nabi/689495611071696

Artikel Terkait:

Silahkan Kunjungi Blog Kami Yang Lainnya

Klik Gambar di bawah ini

0 comments:

Post a Comment

 
Klik Info Lainnya